Mar 31, 2010

Ilmu, Ulama, dan Peradaban Islam


“Mengapa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin ia berbuat salah? Apa kalau begitu, tidak sebaiknya menjadi orang bodoh saja?" Begitu tanya seorang teman dekat saya. Saya tentu saja tertegun dibuatnya. Bukan apa-apa, dia adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Timur.

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin pertanyaan ini lahir dari para mahasiswa yang sedang berada di jenjang pendidikan tinggi. Tidakkah mereka menyadari bahwa mereka sendiri sedang berproses menjadi orang "pintar"? Bukankah dia berada di sebuah perguruan tinggi Islam, yang seharusnya menjadi tempat pelopor bagi "kegiatan intelektual" umat Islam.

Lalu, bagaimana peradaban Islam akan maju jika umatnya berpandangan dan bersikap demikian? Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan ini, saya menyadari, yang ketika itu mereka fikirkan dan yakini, yang kemudian mereka ekspresikan ke saya dalam bentuk pertanyaan, adalah satu 'akumulasi' kebingungan, kegundahan, dan pencarian jawaban.

Tak dapat disangkal, inilah hasil dari "menu" harian kita. Di mana banyak orang dengan pendidikan tinggi "mempertontonkan" kecerdikannya dalam menyakiti rakyat. Lihatlah kasus korupsi yang sedang ramai menjadi perhatian kita. Para pencuri dan penilap uang rakyat bukanlah orang-orang bodoh. Mereka justru orang-orang pandai dengan latar-belakang ilmu yang tinggi.

Jika kasus-kasus kejahatan ekonomi dan sosial –dengan pelaku kejahatan adalah orang cerdik pandai—terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan menjadi persepsi negatif di pikiran masyarakat bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, makin mudah baginya untuk menipu atau berjuat jahat.

Realitas ini menarik kita bahas tentang "siapa orang berilmu"? Dalam terminolgi Islam “orang yang berilmu” dikenal dengan ulama. Maka dari itu, kita perlu melihat kembali secara jernih dan mendasar, siapa sebenarnya 'orang berilmu” dan siapa ulama sesungguhnya? Apakah setiap orang yang hanya karena telah menempuh satu pendidikan tertentu langsung disebut ulama? Jika tidak, lantas, siapa mereka (ulama)? Dan bagaimana seharusnya mereka bersikap dan menggunakan ilmunya? 

Ulama: Ilmu dan Amal

Untuk mengenal diri kita dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya, menarik melihat apa yang dikatakan oleh Al-Khalil bin Ahmad: "Arrijaalu arba'ah: Rajulun yadrii wa yadrii an-nahu yadrii fadzalika 'alimun fas-aluhu, wa ra julun yadrii wa laa yadrii an-nahu yadrii fadzalika naasin fa dzakkiruhu, wa rajulun laa yadrii wa yadrii an-nahuu laa-yaddri fa dzalika mustarsyidun fa-arsyiduhu, wa rajulun la yadrii wa laa yadriii an-nahuu laa yadrii fa dzalika jaahilun farfudhuhu." (Orang itu terbagi menjadi empat karakter. Pertama, orang yang tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh. Maka jangan bergaul dengannya) (Baca: Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: 86).

Demikianlah, orang alim itu adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini paham apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tidak sekedar itu, ia juga tahu hak-hak ilmu, kemudian menunaikannya. Artinya, walaupun seseorang itu sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu, namun ia belum dikatakan sebagai seorang 'alim’ kecuali setelah mengamalkan ilmunya. Hal ini telah diungkapkan juga oleh Ali ibn Abi Thalib, "innamal alim man amila bima alima." Ini karena tujuan utama ilmu adalah untuk diamalkan. Dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Atau dengan kata lain, orang alim itu hanya mengamalkan apa yang diilmuinya.

Berikutnya, orang alim itu tidak akan merasa puas dengan ilmu yang diketahuinya. Justru ia akan merasa perlu untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, Abdullah bin Mubarak berkata, "Seseorang tetap dikatakan alim selagi ia terus menuntut ilmu. Jika ia menyangka ilmunya telah cukup, maka sesungguhnya dia masih bodoh." Dan dalam sejarah, kita tahu, Imam Ahmad yang telah hafal satu juta Hadits (menurut ar-Razi), tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur." Di sini, sungguh beliau bertekad mencari ilmu hingga ajal menjemput. Sebuah proses pendidikan yang tuula az-zaman.

Atas dasar ini, tidak heran jika kelompok umat yang memiliki karakter kedua di atas tidak dimasukkan dalam golongan ulama. Sebab, mereka ini memang sudah mengetahui ilmu, tapi perbuatannya bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Mungkin, sebagian besar dari kita masuk kategori ini. Kita sudah mengetahui suatu perintah, tapi belum juga melaksanakan. Sudah tahu yang haram, namun masih lebih sering terjerumus ke dalamnya. Padahal, di saat bersamaan kita juga tahu yang halal. Maka, dalam keadaan seperti ini kita perlu diingatkan. Misalnya dengan secara rutin mendatangi majelis-majelis. Insya Allah dengan cara ini, kelalaian kita akan cepat teratasi, sehingga kita bisa meningkat ke peringkat pertama tadi.

Jika tidak melakukan ini, berarti kita memelihara "kelalaian" itu. Padahal, tidak ada yang lebih berbahaya dari orang yang dianggap mengetahui ilmu, tapi menyengaja berbuat dosa. Na'udzubillahi min dzalik. Umar bin Khattab berkata:

قال عمر رضي الله عنه: إن أخوف ما أخاف على هذه الأمة المنافق العليم. قالوا وكيف يكون منافقا عليما؟ قال عليم اللسان جاهل القلب والعمل

(Sesungguhnya di antara yang saya khawatirkan terjadi pada umat ini adalah adanya seorang munafik yang alim." Orang-orang bertanya, "Bagaimana ada munafik tapi alim?" Beliau menjawab, "Yakni orang yang hanya pintar di lidah, namun bodoh dalam hati dan amalnya). Imam al-Ghazali menyebut mereka ini sebagai 'ulama su', yang justru akan melemahkan pondasi bangunan peradaban Islam.” (Baca: Ihya' Ulumiddin).

Demikianlah, tidak semua orang yang punya ilmu itu disebut sebagai 'alim (jamak: 'ulama), apalagi mereka yang memang tidak berilmu, seperti yang tergambar dalam kategori ketiga dan keempat di atas.

Pemetaan ini penting kita ketahui, agar kita tidak salah dalam melihat fenomena yang berkembang, di mana ada sebagian orang yang punya ilmu malah "memimpin" pelanggaran ajaran agama. Jika tidak, kita akan berfikir, lebih baik tidak menuntut ilmu daripada ikut-ikutan terjerumus pada perbuatan salah itu. Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Sahl rahimahulla, "Tidaklah Allah Azza wa Jalla didurhakai dengan kedurhakaan yang lebih buruk dari kebodohan. Dan kebodohan yang paling parah adalah bodoh terhadap kebodohannya sendiri."

Di samping itu, yang perlu kita sadari adalah, adanya "tuntutan" agar mengamalkan ilmu yang kita peroleh itu 'tidak boleh' meniadakan kemauan atau rasa tanggung jawab untuk menuntut ilmu. Sebab, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengamalkan ilmu yang kita miliki merupakan satu kesalahan itu sendiri. Ini telah nyata tergambar dalam pernyataan Abu Hurairah ketika ditanya oleh seseorang:

وقال رجل لأبي هريرة رضي الله عنه: أريد أن أتعلم العلم وأخاف أن أضيعه، فقال: كفى بترك العلم إضاعة له.

(Sebenarnya saya ingin menuntut ilmu, tapi saya takut akan menyia-nyiakannya (yakni khawatir tidak bisa mengamalkannya)." Beliau menjawab, "cukuplah kamu dianggap menyia-nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar).

Pondasi Peradaban

Apa yang terjadi di atas, selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang telah mencapai tingkat tertentu dalam menuntut ilmu. Di mana gerak-gerik mereka sangat mempengaruhi pandangan masyarakat. Jika mereka berbuat positif, maka secara tidak langsung telah mengajak dan mendorong masyarakat untuk terus menuntut ilmu. Namun sebaliknya, jika dengan ilmunya itu kemudian seseorang malah berbuat yang tidak terpuji, tentu lambat laun ini akan memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat luas.

Tentu, bagi kita semua, ketakutan masyarakat yang muncul akibat perilaku buruk orang-orang yang punya ilmu itu menjadi satu keprihatin. Bagaimana tidak, saat ini, kita sedang berjuang membangun kembali Peradaban Islam. Sejarah telah berbicara, kebangkitan peradaban Islam ditopang oleh ilmu pengetahuan sehingga, upaya membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan. Sebab dalam Islam, ilmu merupakan prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat, dan dunia-akhirat sekaligus. Atau, dapat dikatakan, ilmu adalah akar peradaban dan peradaban adalah buah dari ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kemunduran umat Islam saat ini lebih karena krisis ilmu.

Melihat hal ini, tidak heran jika dalam perkembanganya, ulama-ulama yang lahir dari "aktifitas" menuntut ilmu tersebut sangat mewarnai maju-mundurnya peradaban Islam. Bahkan, bisa dibilang 'sangat menentukan'.

Karena itu, sekali lagi, kita sangat prihatin manakala ada yang berfikir dan berpandangan bahwa aktifitas menuntut ilmu itu tidak akan mendatangkan suatu manfaat, bahkan sebaliknya. Sungguh, ini perlu pelurusan. Dalam hal ini, semoga tulisan yang serba singkat ini memberi sedikit kontribusi. Wallahu a'lam bi as-shawab.

Oleh : Asmu'i (Penulis adalah alumni ke-II Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Ponorogo '09. Sekarang sedang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Pemikiran Islam.)

Post Oleh : Feryhady



0 comments:

Post a Comment

Update Myworld

Plengkung

Plengkung
Plengkung

Chat Via Yahoo

Agro Wisata

Agro Wisata
Kopi

Jaranan

Jaranan
Tari Jaranan

Ngikut Yuuuk

Tukeran Link


feryhady.blogspot

Pengunjung

free counters

Geo Counter

IP Kamu

Tuker Duit

Petik Laut 1 Syuro

Petik Laut 1 Syuro
Petik Laut 1 Syuro

Wisata Banyuwangi

Wisata Banyuwangi
Terowongan Mrawan-Kalibaru

Dermaga Ketapang

Dermaga Ketapang
Dermaga Ketapang

Wisata kalibaru

Wisata kalibaru
Kalibaru Cottages

Wisata Banyuwangi

Wisata Banyuwangi
Warung Bebas Kalibaru

Watu Dodol

Watu Dodol
Watu Dodol

Gandrung Banyuwangi

Gandrung Banyuwangi
Tari Gandrung

Sukamade

Sukamade
P.Penyu Sukamade

Kamus