Mar 31, 2010

Menjustifikasi Kematian “Teroris”

Ada fenomena aneh di balik kisah sukses Detasemen Khusus 88 membekuk para "teroris" dua bulan terakhir ini. Yaitu, hampir semua"teroris"-nya mati tertembak ataupun terbunuh dengan cara lain. Pasca peledakan hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, tak kurang dari sembilan"teroris" yang dianggap berperan langsung dan tidak langsung telah terbunuh.

Ibrohim, florist hotel Ritz Carlton terbunuh pada 8 Agustus 2009 di Temanggung, dalam drama pengepungan yang diliput banyak media massa. Pada hari yang sama Air Setiawan dan Eko Sarjono juga ditembak hingga tewas di Bekasi. Pada 16 September 2009, masih di bulan Ramadhan, empat ‘teroris’ termasuk buruan nomor wahid, Noordin M. Top, terbunuh dalam drama baku tembak di Solo. Kemudian, yang masih gres, dua buronan utama, kakak beradik Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, menjemput ajal di ujung senapan Densus 88 di Ciputat. Persis menjelang shalat Jum’at 9 Oktober 2009.

Banyak pihak mengacungkan jempol terhadap ‘prestasi’ Densus 88. Memang, dari sisi produktivitas pemburuan "teroris", Densus 88 amat sangat produktif. Sembilan buron tewas hanya dalam kurun waktu dua bulan. Buronan nomor wahid pula.
Permasalahannya adalah, haruskah mereka dibunuh? Layakkah mereka dibunuh? Tak ada cara lainkah untuk mengakhiri perburuan dan mengungkap misteri terorisme ini selain dengan pembunuhan?


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan yang lebih mendasar adalah, benarkah mereka yang terbunuh itu benar-benar "teroris"? Kalaupun benar "teroris" apakah mereka memang harus dibunuh?


Tanpa berpretensi untuk membela terorisme, sistem peradilan pidana Indonesia, dan juga hampir semua sistem peradilan di negara yang sehat demokrasinya, dan tegak rule of law-nya, memegang teguh asas ‘presumption of innocence’ alias ‘praduga tak bersalah.


Seseorang bisa jadi mencurigakan, bisa jadi tertangkap basah, bisa jadi memiliki ciri dan identitas yang cocok dengan pelaku kejahatan tertentu, ataupun menjadi buron karena alat-alat bukti dan saksi mengarah padanya, namun tetap saja ia tak dapat disebut sebagai bersalah sebelum pengadilan menyidanginya dan hakim menyatakan bersalah dan kemudian menghukumnya. Dan ini pun belum akhir perjalanan. Sang terhukum masih berpeluang mengajukan banding ke pengadilan tinggi, Kasasi dan Pengajuan Kembali ke Mahkamah Agung, hingga permohonan grasi ke Presiden.


Tidak semua saksi adalah tersangka. Tidak semua tersangka kemudian berkembang menjadi terdakwa. Tidak semua terdakwa menjadi terpidana. Dan tidak semua terpidana benar-benar menjalani hukuman sesuai yang dijatuhkan. Termasuk, tidak semua terpidana benar-benar melakukan tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya. Banyak kasus salah tangkap, salah tahan, salah mendakwa, bahkan sampai salah menghukum.


Kendati demikian, proses peradilan harus dihormati. Karena di forum tersebutlah alat-alat bukti dan saksi diuji dan dipertukarkan keterangannya. Di majelis yang mulia itulah informasi dan keterangan terdakwa, saksi maupun korban dan ahli diperdengarkan.


Apabila para"teroris" telah menjemput ajalnya, instrumen dan media seperti apa yang dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar "teroris"? Apalagi definisi tentang terorisme sendiri begitu banyak dan sangat bias. Ditingkahi pula oleh Undang-Undang Anti Teroris yang menyimpangi asas keadilan, utamanya dalam penangkapan dan proses penahanan yang berlangsung di luar kelaziman dalam hukum acara pidana dan nyata-nyata melanggar HAM.


Kalaupun benar mereka adalah teroris, maka pengadilan pun bisa mengungkap lebih jauh tentang motif, tujuan, peta jaringan, peran yang dimainkan, hingga unsur kesalahan masing-masing individu. Hukuman dapat dijatuhkan sesuai dengan peran dan derajat kesalahan serta tanggungjawab yang diemban setiap individu. Tentunya, hukuman untuk mastermind amat berbeda dengan mereka yang hanya ikut-ikutan. Hukuman bagi perencana, pemberi order, ataupun pelaku utama amat berbeda dengan mereka yang terseret karena keliru memilih teman dan berada di tempat dan waktu yang salah. Palu hakim masih memberikan beberapa pilihan. Sangat berbeda dengan laras senapan senapan polisi yang seringkali tanpa kompromi dan tak pula bertelinga.


Publik pun mengakui hal ini. Jasad dari Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, keduanya dituding sebagai pelaku pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009, tak ditolak warga untuk dimakamkan di daerah tempat tinggalnya, karena beranggapan mereka hanyalah korban indoktrinasi dan bukannya perencana utama. Amat berbeda dengan reaksi warga setempat yang menolak pemakaman para ‘senior’ mereka di kediamannya masing-masing.


Mengapa Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, dan Ali Imron dapat tertangkap tanpa harus terbunuh? Mengapa dua buronan besar seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) dapat diciduk oleh pasukan Amerika Serikat dan Indonesia tanpa harus membunuh mereka?


Dalam kasus lain, dua pemimpin Serbia dan jagal perang Balkan (1992–1996) yang bertanggungjawab atas genocide dan crime against humanity di Bosnia, Serbia dan Croatia, masing-masing adalah Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, dapat ditangkap kemudian diadili pengadilan khusus di The Hague tanpa harus membunuh mereka. Ketika divonis pun, Milosevic ‘hanya’ mendapatkan hukuman seumur hidup, bukannya hukuman mati. Ia sendiri yang menjemput ajal di penjara karena sakit. Bukan atas peran fire squad, lethal injection, ataupun tiang gantungan.


Timothy McVeigh, "teroris" berkulit putih asli Amerika yang terbukti membom gedung federal (FBI) di Oklahoma City pada tahun 19 April 1995 dan menewaskan 168 rakyat tak berdosa, dapat ditangkap polisi Amerika tanpa harus membunuhnya. Padahal, ia memiliki kemampuan yang menakutkan, karena merupakan veteran tentara yang pernah terjun di Perang Teluk. Kendati kemudian ia dihukum mati pada tahun 2001, uniknya, banyak keluarga korban yang justru tak rela ia dihukum mati. Mereka mengatakan, apabila Tim Mc Veigh dihukum mati adalah sama artinya dengan mengulang kesalahan yang sama. Yaitu kembali mengulang kejahatan pembunuhan yang tak perlu, namun kali ini pelakunya adalah negara.


Maka, mengapa Ibrohim, Eko Joko Sarjono, Air Setiawan, Bagus Budi Pranoto, Hadi Susilo, Ario Sudarso, Noordin M. Top, Syaifuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir harus dibunuh? Tak dapatkah polisi mengulang kisah ‘sukses’penangkapan Amrozi dkk? Pengadilan terhadap Amrozi dkk, sedikit banyak dapat mengungkap unsur pertanggungjawaban pidana setiap tersangka, derajat keterlibatan dan kebersalahannya, peran yang dimainkan dan seterusnya.


Anehnya, baik aparat, birokrat, maupun masyarakat cenderung menjustifikasi kematian para "teroris" tersebut. Tak ada reaksi luar biasa yang menentang ‘pembunuhan’ tersebut. Seolah-olah mereka memang layak untuk ditewaskan dengan cara demikian. Padahal, dengan tewasnya para tersangka "teroris" tersebut, maka sekian istri telah menjadi janda, sekian anak telah menjadi anak-anak yatim, sekian banyak orangtua tak percaya telah kehilangan anak tercintanya yang susah payah dibesarkan sejak bayi.


Yang lebih mengerikan, bagi keluarga, stigma sebagai "keluarga teroris" akan menghantui mereka seumur hidup. Bentuk hukuman sosial dari masyarakat yang tak dapat diklarifikasi karena aktor utamanya telah tewas. Maka, sang istri akan menyandang predikat istri teroris. Sang anak sebagai anak teroris. Ayah dan Ibu sebagai orangtua teroris. Paman dan Bibi menyandang predikat paman dan bibi teroris. Kampung yang didiami akan berpredikat kampung teroris. Luka sosial yang mesti diemban seumur hidupnya tanpa ada kemampuan membela diri.


Bila demikian halnya, tipis saja perbedaan antara negara, masyarakat, dan Noordin M. Top dkk. Ketiganya adalah sama-sama ‘teroris’, namun memainkan peran yang berbeda. Negara berpotensi menjadi ‘teroris’ karena menjalankan praktik ‘state terrorism’ . Antara lain dengan sewenang-wenang mengangkangi proses hukum dan ‘rule of law’ dalam proses penangkapan dan pelumpuhan tersangka "teroris".


Masyarakat pun berpotensi menjadi "teroris" apabila begitu saja menjatuhkan stigma "teroris" dan menjatuhkan penghukuman sosial kepada para ‘tersangka teroris’ dan keluarganya, tanpa ingin mengklarifikasi lebih jauh dan memberikan kesempatan kepada "keluarga teroris" untuk membela diri dan memperbaiki hidupnya.




Post Oleh : Feryhady





KLIK UNTUK KELANJUTANNYA......

Ilmu, Ulama, dan Peradaban Islam


“Mengapa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin ia berbuat salah? Apa kalau begitu, tidak sebaiknya menjadi orang bodoh saja?" Begitu tanya seorang teman dekat saya. Saya tentu saja tertegun dibuatnya. Bukan apa-apa, dia adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Timur.

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin pertanyaan ini lahir dari para mahasiswa yang sedang berada di jenjang pendidikan tinggi. Tidakkah mereka menyadari bahwa mereka sendiri sedang berproses menjadi orang "pintar"? Bukankah dia berada di sebuah perguruan tinggi Islam, yang seharusnya menjadi tempat pelopor bagi "kegiatan intelektual" umat Islam.

Lalu, bagaimana peradaban Islam akan maju jika umatnya berpandangan dan bersikap demikian? Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan ini, saya menyadari, yang ketika itu mereka fikirkan dan yakini, yang kemudian mereka ekspresikan ke saya dalam bentuk pertanyaan, adalah satu 'akumulasi' kebingungan, kegundahan, dan pencarian jawaban.

Tak dapat disangkal, inilah hasil dari "menu" harian kita. Di mana banyak orang dengan pendidikan tinggi "mempertontonkan" kecerdikannya dalam menyakiti rakyat. Lihatlah kasus korupsi yang sedang ramai menjadi perhatian kita. Para pencuri dan penilap uang rakyat bukanlah orang-orang bodoh. Mereka justru orang-orang pandai dengan latar-belakang ilmu yang tinggi.

Jika kasus-kasus kejahatan ekonomi dan sosial –dengan pelaku kejahatan adalah orang cerdik pandai—terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan menjadi persepsi negatif di pikiran masyarakat bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, makin mudah baginya untuk menipu atau berjuat jahat.

Realitas ini menarik kita bahas tentang "siapa orang berilmu"? Dalam terminolgi Islam “orang yang berilmu” dikenal dengan ulama. Maka dari itu, kita perlu melihat kembali secara jernih dan mendasar, siapa sebenarnya 'orang berilmu” dan siapa ulama sesungguhnya? Apakah setiap orang yang hanya karena telah menempuh satu pendidikan tertentu langsung disebut ulama? Jika tidak, lantas, siapa mereka (ulama)? Dan bagaimana seharusnya mereka bersikap dan menggunakan ilmunya? 

Ulama: Ilmu dan Amal

Untuk mengenal diri kita dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya, menarik melihat apa yang dikatakan oleh Al-Khalil bin Ahmad: "Arrijaalu arba'ah: Rajulun yadrii wa yadrii an-nahu yadrii fadzalika 'alimun fas-aluhu, wa ra julun yadrii wa laa yadrii an-nahu yadrii fadzalika naasin fa dzakkiruhu, wa rajulun laa yadrii wa yadrii an-nahuu laa-yaddri fa dzalika mustarsyidun fa-arsyiduhu, wa rajulun la yadrii wa laa yadriii an-nahuu laa yadrii fa dzalika jaahilun farfudhuhu." (Orang itu terbagi menjadi empat karakter. Pertama, orang yang tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh. Maka jangan bergaul dengannya) (Baca: Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: 86).

Demikianlah, orang alim itu adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini paham apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tidak sekedar itu, ia juga tahu hak-hak ilmu, kemudian menunaikannya. Artinya, walaupun seseorang itu sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu, namun ia belum dikatakan sebagai seorang 'alim’ kecuali setelah mengamalkan ilmunya. Hal ini telah diungkapkan juga oleh Ali ibn Abi Thalib, "innamal alim man amila bima alima." Ini karena tujuan utama ilmu adalah untuk diamalkan. Dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Atau dengan kata lain, orang alim itu hanya mengamalkan apa yang diilmuinya.

Berikutnya, orang alim itu tidak akan merasa puas dengan ilmu yang diketahuinya. Justru ia akan merasa perlu untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, Abdullah bin Mubarak berkata, "Seseorang tetap dikatakan alim selagi ia terus menuntut ilmu. Jika ia menyangka ilmunya telah cukup, maka sesungguhnya dia masih bodoh." Dan dalam sejarah, kita tahu, Imam Ahmad yang telah hafal satu juta Hadits (menurut ar-Razi), tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur." Di sini, sungguh beliau bertekad mencari ilmu hingga ajal menjemput. Sebuah proses pendidikan yang tuula az-zaman.

Atas dasar ini, tidak heran jika kelompok umat yang memiliki karakter kedua di atas tidak dimasukkan dalam golongan ulama. Sebab, mereka ini memang sudah mengetahui ilmu, tapi perbuatannya bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Mungkin, sebagian besar dari kita masuk kategori ini. Kita sudah mengetahui suatu perintah, tapi belum juga melaksanakan. Sudah tahu yang haram, namun masih lebih sering terjerumus ke dalamnya. Padahal, di saat bersamaan kita juga tahu yang halal. Maka, dalam keadaan seperti ini kita perlu diingatkan. Misalnya dengan secara rutin mendatangi majelis-majelis. Insya Allah dengan cara ini, kelalaian kita akan cepat teratasi, sehingga kita bisa meningkat ke peringkat pertama tadi.

Jika tidak melakukan ini, berarti kita memelihara "kelalaian" itu. Padahal, tidak ada yang lebih berbahaya dari orang yang dianggap mengetahui ilmu, tapi menyengaja berbuat dosa. Na'udzubillahi min dzalik. Umar bin Khattab berkata:

قال عمر رضي الله عنه: إن أخوف ما أخاف على هذه الأمة المنافق العليم. قالوا وكيف يكون منافقا عليما؟ قال عليم اللسان جاهل القلب والعمل

(Sesungguhnya di antara yang saya khawatirkan terjadi pada umat ini adalah adanya seorang munafik yang alim." Orang-orang bertanya, "Bagaimana ada munafik tapi alim?" Beliau menjawab, "Yakni orang yang hanya pintar di lidah, namun bodoh dalam hati dan amalnya). Imam al-Ghazali menyebut mereka ini sebagai 'ulama su', yang justru akan melemahkan pondasi bangunan peradaban Islam.” (Baca: Ihya' Ulumiddin).

Demikianlah, tidak semua orang yang punya ilmu itu disebut sebagai 'alim (jamak: 'ulama), apalagi mereka yang memang tidak berilmu, seperti yang tergambar dalam kategori ketiga dan keempat di atas.

Pemetaan ini penting kita ketahui, agar kita tidak salah dalam melihat fenomena yang berkembang, di mana ada sebagian orang yang punya ilmu malah "memimpin" pelanggaran ajaran agama. Jika tidak, kita akan berfikir, lebih baik tidak menuntut ilmu daripada ikut-ikutan terjerumus pada perbuatan salah itu. Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Sahl rahimahulla, "Tidaklah Allah Azza wa Jalla didurhakai dengan kedurhakaan yang lebih buruk dari kebodohan. Dan kebodohan yang paling parah adalah bodoh terhadap kebodohannya sendiri."

Di samping itu, yang perlu kita sadari adalah, adanya "tuntutan" agar mengamalkan ilmu yang kita peroleh itu 'tidak boleh' meniadakan kemauan atau rasa tanggung jawab untuk menuntut ilmu. Sebab, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengamalkan ilmu yang kita miliki merupakan satu kesalahan itu sendiri. Ini telah nyata tergambar dalam pernyataan Abu Hurairah ketika ditanya oleh seseorang:

وقال رجل لأبي هريرة رضي الله عنه: أريد أن أتعلم العلم وأخاف أن أضيعه، فقال: كفى بترك العلم إضاعة له.

(Sebenarnya saya ingin menuntut ilmu, tapi saya takut akan menyia-nyiakannya (yakni khawatir tidak bisa mengamalkannya)." Beliau menjawab, "cukuplah kamu dianggap menyia-nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar).

Pondasi Peradaban

Apa yang terjadi di atas, selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang telah mencapai tingkat tertentu dalam menuntut ilmu. Di mana gerak-gerik mereka sangat mempengaruhi pandangan masyarakat. Jika mereka berbuat positif, maka secara tidak langsung telah mengajak dan mendorong masyarakat untuk terus menuntut ilmu. Namun sebaliknya, jika dengan ilmunya itu kemudian seseorang malah berbuat yang tidak terpuji, tentu lambat laun ini akan memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat luas.

Tentu, bagi kita semua, ketakutan masyarakat yang muncul akibat perilaku buruk orang-orang yang punya ilmu itu menjadi satu keprihatin. Bagaimana tidak, saat ini, kita sedang berjuang membangun kembali Peradaban Islam. Sejarah telah berbicara, kebangkitan peradaban Islam ditopang oleh ilmu pengetahuan sehingga, upaya membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan. Sebab dalam Islam, ilmu merupakan prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat, dan dunia-akhirat sekaligus. Atau, dapat dikatakan, ilmu adalah akar peradaban dan peradaban adalah buah dari ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kemunduran umat Islam saat ini lebih karena krisis ilmu.

Melihat hal ini, tidak heran jika dalam perkembanganya, ulama-ulama yang lahir dari "aktifitas" menuntut ilmu tersebut sangat mewarnai maju-mundurnya peradaban Islam. Bahkan, bisa dibilang 'sangat menentukan'.

Karena itu, sekali lagi, kita sangat prihatin manakala ada yang berfikir dan berpandangan bahwa aktifitas menuntut ilmu itu tidak akan mendatangkan suatu manfaat, bahkan sebaliknya. Sungguh, ini perlu pelurusan. Dalam hal ini, semoga tulisan yang serba singkat ini memberi sedikit kontribusi. Wallahu a'lam bi as-shawab.

Oleh : Asmu'i (Penulis adalah alumni ke-II Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Ponorogo '09. Sekarang sedang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Pemikiran Islam.)

Post Oleh : Feryhady



KLIK UNTUK KELANJUTANNYA......

Seks dan Gereja, Sistematis dan Sistemik


Tiga puluh tahun John J. Geoghan berkeliling bebas memangsa anak-anak di sekitarnya. Setidaknya 130 anak menjadi korban kebejatan rohaniwan Keuskupan Boston itu. Seorang ibu bahkan harus merana karena tiga putra dan seorang putrinya, semua menjadi korban Geoghan. Tidak cuma itu, tiga keponakannya juga mengalami hal serupa. Bukan main.
Memang bukan main-main, karena kasus pelanggaran seksual sengaja ditutupi oleh gereja. Bukan hanya oleh gereja lokal, tapi juga penguasa Tahta Suci Vatikan.
Bahkan di Irlandia, pihak gereja bekerja sama dengan polisi menutupi kasus-kasus yang terjadi.
Kepada majalah Jerman, Focus, Kepala Gereja Katolik Roma Jerman Uskup Agung Zollitsch, mengakui bahwa gereja sengaja menutupi kasus pelanggaran seksual. "Ya, kami melakukannya," katanya.
Zollitsch mengatakan, kasus yang terjadi di institusinya membuat dirinya malu dan ketakutan. "Setiap kasus, membuat wajah seluruh gereja semakin kelam."
Di Jerman, negara asal Paus Benediktus XVI, skandal seks yang bermunculan di mana-mana menimbulkan pertanyaan publik atas masa lalu Paus itu sendiri.
Tahun 1980, Paus Benediktus XVI, yang ketika itu masih dikenal sebagai Uskup Agung Joseph Alois Ratzinger, pernah mengirim seorang pastor ke Munich untuk melakukan terapi, karena melakukan pelanggaran seksual. Dokter jiwa yang merawat rohaniwan itu diingatkan agar tidak memperbolehkannya bekerja dengan anak-anak lagi. Tapi peringatan tinggal peringatan, karena Joseph Alois Ratzinger sendiri yang memperbolehkan lagi pastor itu menjalankan tugasnya dan berhubungan dengan anak-anak. Janggalnya, pekan lalu seorang pejabat di gereja Jerman yang harus menanggung resiko atas keputusan yang dibuat Benediktus XVI itu, ketika ia masih menjadi uskup agung.

Selibasi


Uskup Agung Wina Christoph Schonborn berpendapat bahwa selibasi menjadi salah satu penyebab skandal seks yang menghantam gereja Katolik.
Dalam sebuah artikel di majalah keuskupannya, Thema Kirche, ia menganjurkan agar dilakukan penyelidikan yang sungguh-sungguh atas penyebab terjadinya kasus pedofilia.
"Termasuk di dalamnya masalah pelatihan bagi para pastor, dan juga pertanyaan tentang apa yang disebut dengan revolusi seksual. Juga termasuk masalah selibasi pastor dan masalah pengembangan kepribadian. Semuanya itu menuntut kejujuran yang sangat, baik dari pihak gereja maupun masyarakat keseluruhan," tulisnya.
Schonborn bukan orang pertama yang menghubungkan selibasi dengan pedofilia. Seorang pakar teologi bernama Hans Kung pernah menyatakan pendapat yang sama.
Klaus Beier, salah seorang pakar kesehatan seksual terkemuka Jerman, yang sering menangani para pedofil, pernah menawarkan bantuan untuk menolong para rohaniwan di lingkungan gereja Katolik. Cukup mengejutkan, karena Vatikan membalas suratnya.
"Atas nama Tahta Suci, saya mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda kepada kesejahteraan anak-anak dan tawaran bantuan kepada penderita (pedofil)," tulis serorang pejabat Vatikan.
Mungkin surat Beier terselip dalam tumpukan surat lainnya di Vatikan. Karena hingga saat ini, belum ada realisasi dari balasan Vatikan atas tawaran Beier untuk menangani penyimpangan seksual para pastor.


Sejarah konyol


Bibel sama sekali tidak mengajarkan selibasi. Sebelum abad pertengahan, para rohaniwan Katolik bukan saja diperbolehkan memiliki banyak istri dan gundik, tapi hal itu merupakan perkara lumrah. Karena poligami adalah budaya yang sudah ada sebelum agama Kristen lahir.
Namun karena alasan harta duniawi, Paus Pelagius I berusaha mencegah harta kekayaan gereja habis. Maka ia pun berupaya membuat para pastor baru setuju agar keturunan mereka tidak bisa mewarisi kekayaan gereja.
Paus Gregory kemudian menindaklanjutinya dengan menetapkan bahwa seluruh putra rohaniwan adalah tidak sah. Hanya anak laki-laki, karena anak perempuan bisa mewarisi dengan cara lain dalam masyarakat.
Tahun 1022 Paus Benediktus VII melarang pernikahan dan gundik bagi rohaniwan. Kemudian di tahun 1139 Paus Innocent II membatalkan seluruh pernikahan rohaniwan, dan pastor baru harus menceraikan istri-istri mereka.
Tidak ada alasan moral sama sekali dalam penetapan aturan selibasi, seperti yang sering diklaim sebagian orang. Selibasi bukan dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada tuhan, tapi semata agar harta gereja tetap menjadi milik gereja.
Meskipun pernikahan dilarang, masih ada dispensasi hingga menjelang akhir tahun 1970an. Tahun 1966 Paus Paulus VI bahkan menetapkan dispensasi selibasi. Alasannya, gara-gara selibasi gereja kekurangan rohaniwan. Mana ada pria normal yang tahan hidup tanpa wanita?
Pada bagian awal surat pastorialnya "Sacerdotalis Caelibatus" tertanggal 24 Juni 1967, Paus menulis, "Di dunia pada masa sekarang ini, menjalankan selibasi menjadi sulit atau bahkan mustahil."


Namun penggantinya di tahun 1978, John Paul II atau lebih dikenal dengan Paus Yohanes Paulus II, mengeluarkan "Theology of the Body". Menurutnya, tubuh manusia--pria dan wanita--hanyalah obyek kesenangan atau mesin manipulasi semata. Dengan berdasarkan pemikiran dangkal seperti itu, Paus lalu menghapus semua dispensasi selibasi.


Kini, dampak buruk selibasi terlihat jelas. Kerusakan terjadi di mana-mana. Bukan sekedar menciptakan kebohongan di kalangan pelayan dan wakil tuhan, tapi juga merusak masa depan banyak anak manusia. 


Post Oleh: Feryhady

KLIK UNTUK KELANJUTANNYA......

Mar 30, 2010

Proteksi Diri, Menangkal Serangan Hacker

 Sedikit tips singkat untuk memproteksi PC pribadi dari serangan Hacker perusak. Ikuti langkah-langkah berikut:

1. Memblokir Remote Access. Untuk mencegah PC anda diambil alih oleh Hacker, nonaktifkan Remote Access. Dlm menu Start, klik kanan pada "My Computer" & pilih "Properties". Maka ada tampilan "System Properties", kemudian pilih tab "Remote", singkirkan/hilangkan tanda (V) yg ada didepan semua option yang ada untuk menonaktifkannya. Kemudian klik "OK".

2. Menghapus User Account yang tidak terpakai  Pada "Windows XP Professional" terdapat beberapa user account yang dapat diakses melalui trojan & dimanfaatkan utk melakukan penyerangan. Utk menyingkirkannya pilih menu Start, pilih "Control Panel", pilih "Performance and Maintenance". Kemudian pilih "Administrative Tools", Klik 2 kali "Computer Management". Pilih "Local Users and Groups", pada sisi kanan klik 2 kali pd bagian "Users". Hapuslah account-account lama yang tdk anda gunakan ( gambar users yg ada tanda X ). Kemudian tutuplah tampilan2 tadi.

3. Menutup celah NetBIOS  File2 dokumen anda bisa diakses melalui Internet maka nonaktifkanlah NetBIOS. Dlm menu Start, klik kanan pada "My Network Place" & pilih "Properties". Maka ada tampilan "Network Connections". Kemudian klik kanan icon koneksi internet yg tersedia, pilih "Properties". Jika ada tampilan, pilih tab "Networking". Beri tanda ( V ) yg ada didepan "Internet Protocol (TCP/IP), kemudian klik tab "Properties" yg ada dibawahnya. Maka ada tampilan "Internet Protocol (TCP/IP) Properties", pilih tab "Advanced". Tampilan ada lagi "Advaced TCP/IP Settings", pilih tab "Wins", lalu pilih "Disable NetBIOS over TCP/IP. Klik 'OK".


4. Penanggulangan terhadap BO2K pada Windows XP. BO2K dapat dilacak dgn scanning port. Biasanya pd Windows Xp yg terbuka portnya hanya satu yaitu port 139 (NetBios). Oleh karena itu perlu dicurigai jika kita mengetahui ada port lain selain port 139 yg terbuka. Program anti virus yg beredar saat ini dapat mendeteksi keberadaan program ini. Pastikan anda sudah melakukan download versi terbaru dari program anti virus. Rajin2 lah membuka registrasi Windows. Biasanya pd Windows 9x, karena BO2K menanamkan dirinya pada
"HKEY_LOCAL_MACHINE\Software\Microsoft\Windows\CurrentVersion\RunServices"

atau pada

"HKEY_LOCAL_MACHINE\Software\Microsoft\Windows\CurrentVersion\Run".

5. Pengamanan BIOS pada Server  BIOS merupakan perangkat lunak aras rendah yg berguna utk melakukan konfigurasi atau manipulasi hardware pada PC berbasis x86. MS Windows maupun Lilo dari Linux menggunakannya utk menentukan prosedur melakukan booting pada PC anda. Anda perlu memproteksi BIOS anda dgn memberi password padanya. Cara ini juga berguna utk mencegah penggunaan booting up melalui floppy disk. Cara ini tdk memberi perlindungan secara maksimal pada PC anda, namun dapat mempersulit org lain utk mengacak2 PC anda. Perlu diingat bahwa BIOS saat ini menggunakan metode flashroom, yg memungkinkan kita utk mengubah konfigurasi atau bahkan menghapusnya sama sekali.

6. Penyalahgunaan CGI Shell pada Unix/Linux  Ada beberapa cara yg cukup ampuh utk menanggulanginya :

a. Anda pasang Chrooted-Jail pada Apache anda sehingga perintah yg dapat dijalankan dapat anda batasi.

b. Utak-atik Source Code dari fasilitas CGI yg akan anda berikan misalnya Perl, kemudian anda matikan fasilitas fungsi system

c. Minimalisasi terjadinya eksploit local pada sistem anda dgn sering mengutak-atik & mengikuti perkembangan berita seputar sekuriti.

7. Menghapus komponen COM yg tdk dibutuhkan pd Windows 2000/XP  Beberapa komponen COM yg tdk dibutuhkan oleh hamper semua aplikasi harus dihapus. Pertimbangkan dulu sebelum menghapusnya karena setiap komponen saling berhubungan dgn file system & dictionary object. Dalam menu Start pilih Internet Explorer, pada menu”Tools” pilih “Internet Options”. Jika ada tampilan, pilih tab “Connections”. Didalam “Dial-up and Virtual Private Network Setting” hapus COM yg tdk dibutuhkan dgn mengkliknya lalu pilih “Remove”. Kemudian klik “OK’.

8. Mengaktifkan Firewall  Agar Hacker & penyerang tidak sampai ke PC anda, dibutuhkan sebuah Firewall. Dengan Firewall, anda dapat memblokir beberapa port yg kerap diserang Hacker. Kami sarankan anda memakai McAfee Personal Firewall Plus 2004, McAfee Internet Security Suite 6.0 & ZoneAlarm.

9. Menginstalasi Anti Virus  Software antivirus tidak hanya menyingkirkan virus, worm, atau file perusak lainnya tetapi juga melindungi PC dari ancaman serangan Script di website. Kami sarankan anda memakai program antivirus McAfee VirusScan Professional 8.0, McAfee SpamKiller 5.0 & McAfee Worm Removal Plus.

10. Jangan anda melakukan chatting di MIRC sebelum tips diatas dipraktekkan, kalo tidak PC anda akan diseramg oleh Hacker karna IP anda bisa diliat melalui MIRC.

Selamat Mencoba

Post Oleh : Feryhady

KLIK UNTUK KELANJUTANNYA......

Update Myworld

Plengkung

Plengkung
Plengkung

Chat Via Yahoo

Agro Wisata

Agro Wisata
Kopi

Jaranan

Jaranan
Tari Jaranan

Ngikut Yuuuk

Tukeran Link


feryhady.blogspot

Pengunjung

free counters

Geo Counter

IP Kamu

Tuker Duit

Petik Laut 1 Syuro

Petik Laut 1 Syuro
Petik Laut 1 Syuro

Wisata Banyuwangi

Wisata Banyuwangi
Terowongan Mrawan-Kalibaru

Dermaga Ketapang

Dermaga Ketapang
Dermaga Ketapang

Wisata kalibaru

Wisata kalibaru
Kalibaru Cottages

Wisata Banyuwangi

Wisata Banyuwangi
Warung Bebas Kalibaru

Watu Dodol

Watu Dodol
Watu Dodol

Gandrung Banyuwangi

Gandrung Banyuwangi
Tari Gandrung

Sukamade

Sukamade
P.Penyu Sukamade

Kamus